Minggu, 16 Juni 2013

DINAMIKA SUFISME MODERN

0 komentar

Judul buku : Urban Sufisme
Editor : Martin Van Bruinessen & Julia Day Howel
Kaya Pengantar : Azyumardi Azra
Penerbit : Rajawali Press, Jakarta
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : xii + 578 hal
 
Dalam mainstream literatur teori sosial, kita dikenalkan dengan ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ sebagai sebuah ekspresi keislaman yang didalamnya terkandung gagasan tentang dunia sebagai sebuah ‘emanasi’ dari Tuhan dan ‘paralelisme’ mikrokosmos dan makrokosmos. Ia juga bisa dimengerti sebagai perkumpulan sukarela yang para anggotanya bergabung dengan tujuan yang terkait dengan konsepsi tentang ‘kemaslahatan umat’. Beberapa kelompok ‘sufi’ membangun dengan pola-pola hirarkhi tarekat yang ketat tetapi tidak sedikit pula yang membangunnya dengan asosiasi yang lebih longgar. Kedekatan diri dengan Allah kerap kali dibangun dengan berbagai praktik seperti zikir, doa, menyebutkan sifat-sifat dan teknik-teknik olah tubuh olah batin lainnya lainnya seperti cara-cara ‘meditasi’ dan ‘kontenplasi’. Memelihara solidaritas, persahabatan dan kedekatan antara ‘syaikh’ atau ‘mursyid’ dan murid-murid melalui pembelajaran pengutamaan tradisi dan perilaku yang benar merupakan karakteristik yang selalu dipraktikkan dalam kehidupan tarekat mereka. Meskipun batasan pengertian ini tidaklah sesuatu yang baku, minimal gambaran wajah inilah yang oleh awam kerap dipahami.
Tentu tidak terlalu asing untuk mengenal gerakan-gerakan cabang ‘sufisme’ dalam skala global yang popular seperti ‘Naqsabandiyah’, ‘Khalwatiyah’, ‘Tijaniyah’, ‘Qadiriyah’, ‘Ahmadiyah’, ‘Syadziliah’, ‘Mawlawiyah’, dan beberapa gerakan sufisme berpengaruh di tingkat lokal lainnya seperti ‘Syattariyah’ ‘Wahidiyah’ dan ‘Rida’iyah’. Nama-nama besar Syaikh sufi yang cukup terkenal bisa kita dapat seperti Ibnu Arabi, al-Jilli, Ghazali, Ahmad Kuftaru, Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rumi, Inayat Khan dan pemikir pembaharu sufisme lainnya seperti Hamka yang popular di Indonesia. Beberapa aliran besar ‘sufismer’ ini kemudian telah banyak berkembang dan bermetamorfosis ke anak cabangnya di beberapa negara.
Beberapa komunitas dan gerakan Islam besar di Indonesia seperti Nahdatul Ulama (NU) misalnya, pada beberapa hal lebih toleran terhadap perkembangan tarekat-tarekat sufi. Garis batas yang dipegang sebagai prinsip penilaian bagi NU terletak pada apakah tarekat sufi ini tarekat “mu’tabarah” atau tarekat “ghairu mu’tabarah”. Tarekat “mu’tabarah” dengan sendirinya adalah tarekat yang ‘sahih’ (benar)_karena memiliki pertalian hubungan guru-murid sampai nabi Muhammad Saw. Sebaliknya tarekat “ghairu mu’tabarah” dianjurkan untuk tidak diikuti untuk menghindari hal yang salah dalam menjalani hidup kesufian. Perkembangan kontemporer, sufisme baik “mu’tabarah” maupun “ghairu mu’tabarah” berkembang semakin luas terutama jangkaunnya di komunitas urban perkotaan. Ia membentuk format, pola dan relasi yang baru dengan perkembangan kemodernan saat ini. Bisa kita sebut beberapa nama ‘mursyid’ terkenal dengan tarekat sufi besarnya di Indonesia seperti KH. A. Shohibul Wafa Tajul Arifin yang memimpin Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di Suryalaya, Jawabarat;, KH. Asrori bin Muhammad Usman di TQN Kedinding, Surabaya, KH. Masyhuri Syahid di TQN Jombang Jawa Timur. Kita juga cukup akrab dengan berbagai model praktik sufi yang lebih popular dalam beberapa tahun ini dengan praktik zikir berjamaahnya seperti Majelis Zikir pimpinan Ustad Arifin Ilham, Majelis Zikir pimpinan H. Hariyono, Majelis Zikir As Samawat pimpinan KH. Saadi dan Majelis Zikir Istirham pimpinan KH. Abdurrahim Rajiun. Neskipun tergolong ghairu mu’tabarah, tetapi para peminat dan pengikutnya cukup lumayan besar.
Namun demikian, tidak sedikit pandangan muslim masih melihat ‘Sufisme’ dengan karakterisasi ‘stereotipe’ dan ‘simplistik’ sebagai sebuah ekspresi keagamaan yang akan mengalami perubahan drastis berhadapan dengan situasi modernitas. Tesis ini sejalan dengan pandangan umum yang masih melihat ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ tidak sejalan dengan rasionalitas perubahan yang membawa pola-pola hidup yang lebih maju dan lebih modern. Tasawuf cenderung diletakkan sebagai yang ‘eksesif’, ‘kuno’, ‘tradisional’, dan sekaligus ‘mistis’. Keyakinan ini sejalan dengan beberapa pemahaman arus besar muslim terhadap ‘sufisme’ yang mengkatagorikan sebagai praktik kepercayaan yang bercampur dengan bid’ah, khurafat dan juga ‘taqlid buta’ terhadap para pemimpin sufi. Dalam laju modernitas, sufisme dianggap akan melenyap.
Pada kontroversi yang lebih keras, ‘Sufisme’ kerap mendapat serangan dan penentangan terutama oleh kelompok-kelompok ‘salafi’ dan kelompok islam modernis dengan gerakan orientasi pemurnian islamnya. Menguatnya marginalisasi atas eksistensi keberadaan sufisme di Indonesia terjadi terutama pada peralihan abad ke-20 ketika terjadi penguatan gerakan ‘revitalisasi agama’ atas pengaruh kaum pembaharu Islam di Timur Tengah. Pengkarakterisasi ‘sufisme’ sebagai ‘islam yang tidak islam’ pernah cukup menguat pada saat-saat itu. Upaya revitalisasi ini didorong juga oleh spirit untuk membersihkan Islam dari pengaruh nilai-nilai yang dianggap ‘bukan Islam’. Atas semakin luasnya pertentangan ini, beberapa pengamat dan penulis tentang islam memprediksikan atas melenyapnya tradisi ‘Tasawuf’ dan gerakan ‘Sufisme’. Menurut beberapa pengamat tentang Islam, sufisme akan menghilang dan pudar juga seiring dengan perubahan sosial dan modernisasi. Ruang emosional keislaman akan direbut oleh para ulama dan gerakan islam yang berpusat di kota. Asumsi ini relatif bertahan lama hingga sisa-sisanya masih terasa saat ini.
Jika membaca dan menengok lebih jauh tentang perkembangan ‘Sufisme’ di berbagai wilayah dunia, muncul beberapa keraguan atas kebenaran anggapan-anggapan tesis di atas. Gelombang modernisasi yang dikawatirkan akan melibas setiap ekspresi ‘kekunoan’ yang tidak sejalan dengan logika pikir modern ternyata banyak sisi justru memberi sumbangsih atas kelahiran ekspresi-ekspresi keagamaan baru dalam Islam.
 Adaptasi dan cara bertahan hidup telah ditunjukan dengan berbagai elaborasi praktik-praktik baru ‘Sufisme’ yang berkembang semakin beragam. Ada artikulasi praktik keislaman yang lebih luas dan menarik untuk dikaji lebih jauh ketimbang hanya diletakkan pada pandangan dikotomis semata. Perubahan yang dibawa oleh modernisasi banyak hal bertemu dengan berbagai kesalinghubungan konteks perubahan ekonomi, politik, kultural dan evolusi struktur-struktur kelembagaan lainnya. Dikotomi ‘simplistik’ yang menghadapkan ‘sufisme’ pada bentangan katagori ‘yang modern’ dan ‘yang tradisional’ tidak menarik lagi menjadi kunci analisis. Sebaliknya, sufisme dalam keragaman praktiknya bisa mengambil jarak atas modernitas dan tetepai banyak hal juga bisa adaptif terhadap tuntutan-tuntutan perubahan.
Buku ‘Urban Sufisme’ merupakan bunga rampai gagasan dari beberapa peneliti tentang ‘Sufisme’ di beberapa negara.
Khasanah tentang dinamika dunia ‘tasawuf’ yang memberi pemetaan menarik. Pertama, Sufisme sebagai entitas keagamaan tidak bisa hanya diletakkan semata pada pemahaman-pemahaman yang ‘a-historis’, ‘homogen’ dan ‘dikotomik’. Ada keragaman ekspresi, ada kekhasan tradisi dan ada multi pandangan yang mendorong ‘Sufisme’ bertumbuh dan berkembang. Fakta kebertahanan ‘Sufisme’ ini satu sisi telah menantang perspektif lama dan sekaligus mengajak semua orang untuk mulai memahami kelangsungan signifikansi ‘sufisme’ di dunia modern dan kontemporer dengan lebih mendalam. Kedua, Sufisme dalam keterkaitan dengan modernisasi tidak harus dibaca secara ‘biner’ dan hadap-berhadapan. Dinamika dan pasang surut kehidupan ‘Sufisme’ tidak hanya disebabkan oleh variabel modernitas. Lahirnya berbagai ‘neo-sufisme’ bisa jadi adalah hasil tarik menarik dan saling pengaruh dari perubahan berbagai struktur dan sistem sosial lain yang ikut berubah. Buku ini sekaligus mau mangajak untuk perlunya konseptualisasi ulang tentang berbagai pandangan tendesnsius dan mapan terhadap watak ‘Sufisme’. Secara etis terlihat upaya mendudukan berbagai keragaman ‘Sufisme’ dengan upaya pembacaan dan pemahaman lebih kritis melampaui perdebatan-perdebatan yang cenderung deterministik. Ketiga, buku ini ingin memahamkan bahwa ‘Sufisme’ dalam ekspresi dan praktiknya tidak memiliki sikap politik yang doktrinal secara kaku. Ia tidak juga dipahami sebagai entitas yang tidak berubah. Ia berkembang dan berevolusi dalam persentuhannya dengan faktor-faktor internal maupun eksternal. ‘Sufisme’ juga tidak hanya mengutup pada satu mode dan keyakinan dasar tertentu. Ia bisa terbentang dari paling ‘puritan’ sampai yang paling ‘perenialis’. Ia juga bisa tumbuh bergerak dari yang paling konnservatif sampai yang paling adaptif dengan arus modernitas. Ia bahkan bisa bergerak melampauio batas ‘yang tradisional’ dan ‘yang modern’
Buku ini mengangkat beberapa hasil kajian riset penting dan menarik tentang ‘Sufisme kontemporer’ di beberapa negara seperti Mali, Mesir, India, Indonesia dan negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dalam beberapa aspek, buku ini mengajukan satu model pendekatan baru untuk melihat kembali hubungan yang lebih dinamis antara ‘Sufisme’, label-label ‘non sufi’, dan kondisi modernitas. Tidak hanya menjangkau komunitas-komunitas sufi lokal dan domestik, beberapa hasil riset lebih mengembangakan pada skala yang lebih luas yakni gerakan sufisme dalam skala internasional. Kuatnya perubahan eksternal dan penentangan yang bertubi-tubi atas eksistensi sufisme bukan menghentikan ekspresi keagamaan ini melenyap, ia dengan berbagai keunikan, kekhasan dan juga keragaman tradisi justru berkembang pesat. Di beberapa kehadirannya justru dimaknai sebagai cara-cara lebih stratagis untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dari gempuran budaya ‘non Islami’ yang semakin kuat. Sebagai halnya melekat pada konteks sosial historis, keberadaanya selalu berartikulasi dan bersentuhan dengan dinamika perubahan tersebut.
Tesis tentang sekularisasi karena dampak modernitas dari beberapa pemikir tentang islam semakin terbantahkan dengan kemunculan wujud dan wajah ‘kebangkitan agama’. Sufisme bisa menjadi salah satu bagian entitas penting dalam upaya ‘desekuralisasi’ dan penjagaan nilai-nilai keislaman yang termasuk sangat penting. Para sufi pasca-kolonial, seperti yang ditunjukan John O. Voll dalam halaman akhir buku ini menunjukan sebuah kecenderungan perubahan baru wajah dan pola ‘pemasaran agama’ yang lebih ditentukan oleh situasi objektif lingkungan sufisme berada.

Kamis, 31 Januari 2013

Carel Frederik Winter: Indo Sahabat Pujangga

0 komentar


Komplek Makam Ronggowarsito & C.F Winter


Salah seorang sahabat R.Ng. Ranggawarsita atau Bagus Burhan adalah Carel Frederik (CF) Winter. Kendati keturunan Belanda, namun Winter menjadi salah satunya priyayi penting yang dianggap membantu pernjuangannya Ranggawarsita dalam melawan penjajah, lewat karya sastranya seperti Serat Kalatidha yang terkenal akan ramalan Jaman Edan.

CF Winter sendiri lahir di Yogyakarta pada 5 Juli 1799. Semasa hidupnya, CF Winter pernah menjadi juru alih aksara dan penerjemah (translator) bahasa Belanda dan Jawa di Kantor Residen Surakarta. Berawal dari pekerjaannya, Winter bisa berkenalan dan dekat dengan pujangga Keraton Surakarta, Ranggawarsita. Dengan bantuan Winter, di sana Ranggawarsita serta para priyayi Jawa bisa belajar bermacam-macam ilmu dan tatanan internasional, yang ditulis dalam buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris.

Winter mempunyai isteri bernama Jacoba Hendrika Logeman, yang juga membantu Winter bekerja menjadi penerjemah. Ada satu cerita yang menyebutkan bahwa Winter dan Ranggawarsita pernah membawa surat kabar bernama Bramartani, yang diterbitkan ke dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Jawa. Juga surat kabar yang lainnya, yang terbit di Belanda.

CF Winter meninggal pada 14 Januari 1859. Dan ketika meninggal dimakamkan di Pemakaman Belanda, Kerkop, yang berada di Jebres, Surakarta. Begitu pula isterinya setelah meninggal, juga dimakamkan di Kerkop. Namun dengan izin Presiden Soeharto, pada 30 Januari 1984, makam CF Winter dan isterinya dipindahkan ke Dusun Palar, Klaten, di sebelah baratnya makam Pujangga Ranggawarsita. Hal ini supaya menjadi tanda, dan penghormatan atas persahabatan Winter dan Ranggawarsita. Sampai sekarang, makam CF Winter sering diziarahi oleh para peneliti dan sastrawan, juga para pecinta karya besar Ranggawarsita.

Selasa, 29 Januari 2013

Serat Sabda Jati

2 komentar



R.Ng.Ronggowarsito

Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu, MarGAne suka basuki, Dimen luWAR kang kinayun, Kalising panggawe SIsip, Ingkang TAberi prihatos

Jangan berhenti, selalulah berusaha berbuat kebajikan, agar mendapat kebahagiaan serta keselamatan dan tercapai segala cita-cita, maupun terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan; caranya haruslah gemar prihatin.

2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh, Galedehan kang sayekti, Talitinen awya kleru, Larasen sajroning ati, Tumanggap dimen tumanggon

Dalam hidup yang penuh keprihatinan ini pandanglah dengan seksama, intropeksi diri, telitilah jangan sampai salah, endapkanlah didalam hati, agar mudah menanggapi sesuatu.

3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, Angayomi ing tyas wening, Eninging ati kang suwung, Nanging sejatining isi, Isine cipta sayektos

Bisanya demikian kalau senantiasa mendambakan kebajikan, mengendapkan pikiran, mawas diri, sampai seolah-olah hati ini kosong, namun sebenarnya berisi cipta yang sejati.

4. Lakonana klawan sabaraning kalbu, Lamun obah niniwasi, Kasusupan setan gundhul, Ambebidung nggawa kendhi, Isine rupiah kethon

Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran. Sebab jika bergeser dari hidup yang penuh kebajikan akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul, yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.

5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu, Dadi panggonaning iblis, Mlebu mring alam pakewuh, Ewuh mring pananing ati, Temah wuru kabesturon

Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi sarang iblis, selalu mendapatkan kesulitan dan kerepotan, tidak dapat berbuat dengan tekad hati yang baik, seperti orang yang mabuk kepayang.

6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu, Hayuning tyas sipat kuping, Kinepung panggawe rusuh, Lali pasihaning Gusti, Ginuntingan dening Hyang Manon

Bila sudah terlanjur demikian, tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju kepada kebajikan. Segala hal yang baik, ia  lari darinya, sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek. Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.

7. Parandene kabeh kang samya andulu, Ulap kalilipen wedhi, Akeh ingkang padha sujut, Kinira yen Jabaranil, Kautus dening Hyang Manon

Namun demikian, banyak juga yang melihatnya, dengan mata yang seperti kemasukan pasir, banyak diantara mereka yang menyembah-nyembah, menganggapnya sebagai wali yang diutus Tuhan.

8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh, Kewuhan sajroning ati, Yen taniru ora urus, Uripe kaesi-esi, Yen niruwa dadi asor

Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya gelisah melihat fenomena demikian. Bila tak mengikuti hidupnya menderita, namun bila diikuti hidupnya akan tercela

9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, Anggelar sakalir-kalir, Kalamun temen tinemu, Kabegjane anekani, Kamurahane Hyang Manon

Mereka tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan langit, barang siapa yang berusaha dengan tekun pasti akan mendapatkan kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.

10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun, Yen temen-temen sayekti, Dewa aparing pitulung Nora kurang sandhang bukti, Saciptanira kelakon

Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati. Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.

11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur, Saka pengunahing Widi, Ambuka warananipun, Aling-aling kang ngalingi, Angilang satemah katon

Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung yang termasuk rahasia Tuhan, agar dapat diketahui sebagai petunjuk.

12. Para jalma sajroning jaman pakewuh, Sudranira andadi, Rahurune saya ndarung, Keh tyas mirong murang margi, Kasekten wus nora katon

Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan, cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela, perbuatannya makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan diatas jalan kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.

13. Katuwane winawas dahat matrenyuh, Kenyaming sasmita sayekti, Sanityasa tyas malakut, Kongas welase kepati, Sulaking jaman prihatos

Lama kelamaan makin menambah rasa  prihatin, tersentuh oleh pertanda zaman  tersebut, sang pujangga hanya bisa merenung diri melihat membuncahnya keprihatinan itu.

14. Waluyane benjang lamun ana wiku, Memuji ngesthi sawiji, Sabuk tebu lir majenum, Galibedan tudang tuding, Anacahken sakehing wong

Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah ada pertapa yang mengajak pada ketauhidan, ia bersabuk tebu dan berpenampilan seperti orang gila, suka menuding kesana kemari menghitung banyaknya orang.

15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu, Kala Suba kang gumanti, Wong cilik bisa gumuyu, Nora kurang sandhang bukti, Sedyane kabeh kelakon

Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba. Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.

16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput, Mulur lir benang tinarik, Nanging kaseranging ngumur, Andungkap kasidan jati, Mulih mring jatining enggon

Sayang sekali "pengelihatan" Sang Pujangga belum sampai selesai, bagaikan menarik benang dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

17.Amung kurang wolung ari kang kadulu, Tamating pati patitis, Wus katon neng lokil makpul, Angumpul ing madya ari, Amerengi Sri Budha Pon

Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah sampai waktunya, kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.

18. Tanggal kaping lima antarane luhur, Selaning tahun Jimakir, Taluhu marjayeng janggur, Sengara winduning pati, Netepi ngumpul sak enggon

Tanggal 5 bulan Sela (Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873) kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.

19. Cinitra ri budha kaping wolulikur, Sawal ing tahun Jimakir, Candraning warsa pinetung, Sembah mekswa pejangga ji, Ki Pujangga pamit layoti

Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802. (Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi 1873).

Serat Kalatidha

0 komentar

R.Ng. Ronggowarsito

Sinom
1. Mangkya darajating praja, Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda

Keadaan negara saat ini, sudah semakin tak karuan. Sistem tata negara telah rusak, karena sudah tak ada yang bisa diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah leluhur. Para cerdik cendekia pun juga terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya kian mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.

2. Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara

Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik, namun mereka semua itu tidak bisa menciptakan kebaikan di masyarakat. Oleh karena daya jaman Kala Bendu. Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi. Lain orang lain pikiran dan tujuannya.

3.Katetangi tangisira, Sira sang paramengkawi, Kawileting tyas duhkita, atamen ing ren wirangi, Dening upaya sandi, Sumaruna angrawung, Mangimur manuhara, Met pamrih melik pakolih, Temah suka ing karsa tanpa wiweka

Saat itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan, mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang. Tampaknya orang tersebut memberi harapan yang cukup menggiurkan sehingga sang Pujangga terlalu gembira dan tidak waspada.

4.Dasar karoban pawarta, Bebaratun ujar lamis, Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri, Yan pinikir sayekti, Mundhak apa aneng ngayun, Andhedher kaluputan, Siniraman banyu lali, Lamun tuwuh dadi kekembanging beka

Persoalannya kemudian adalah karena kabar angin yang tidak menentu. Kabarnya akan ditempatkan sebagai orang yang didepan, tetapi akhirnya sama sekali tidak benar, bahkan tidak diperhatikan sama sekali. Sebenarnya kalau direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemimpin? Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja. Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.

5. Ujaring panitisastra, Awewarah asung peling, Ing jaman keneng musibat, Wong ambeg jatmika kontit, Mengkono yen niteni, Pedah apa amituhu, Pawarta lolawara, Mundhuk angreranta ati, Angurbaya angiket cariteng kuna

Didalam buku Panitisastra sebenarnya sudah ada peringatan. Dalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai. Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin, akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik menggubah karya-karya jaman dahulu kala.

6. Keni kinarta darsana, Panglimbang ala lan becik, Sayekti akeh kewala, Lelakon kang dadi tamsil, Masalahing ngaurip, Wahaninira tinemu, Temahan anarima, Mupus pepesthening takdir Puluh-Puluh anglakoni kaelokan

Menggubah kisah lama dapat berguna untuk kaca benggala, untuk membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul. Banyak sekali contoh dalam kisah-kisah lama, mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, yang akhirnya akhirnya membuat hati bisa  "nrima" dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan. Melawan garis takdir itu sebenarnya juga hanya karena terpana oleh banyaknya keelokan yg menghanyutkan

7. Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada

Hidup didalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti trend jaman, juga tidak bisa mendapat apapun. Akhirnya malah menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan, walaupun orang yang lupa diri itu bahagia, namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa eling dan waspada.

8. Semono iku bebasan, Padu-padune kepengin, Enggih mekoten man Doblang, Bener ingkang angarani. Nanging sajroning batin, Sejatine nyamut-nyamut, Wis tuwa arep apa, Muhung mahas ing asepi, Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

Semua itu sebenarnya hanya karna gejolak hati. Betul bukan ? Memang benar jika ada yang berkata demikian. Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua, apa pula yang mau dicari. Lebih baik menyepi agar mendapat ampunan dari Tuhan.

9.Beda lan kang wus santosa, Kinarilah ing Hyang Widhi, Satiba malanganeya, Tan susah ngupaya kasil. Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung, Marga samaning titah, Rupa sabarang pakolih, Parandene maksih taberi ikhtiyar

Lain lagi bagi mereka yang sudah kuat, akan mendapatkan rakhmat Tuhan. Bagaimanapun keadaannya, nasibnya selalu baik. Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah. Namun meski demikian mereka masih juga perlu berikhtiar.

10. Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana riwayat muni, Ikhtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma

Jalani saja sekedarnya. Hanya sekedar untuk menghibur hati. Asal tak menimbulkan persoalan tak masalah. Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ber-ikhtiar, hanya harus diingat: harus memilih jalan yang baik. Bersamaan dengan itu, juga harus awas dan waspada, agar selalu mendapat berkah dari Tuhan.

11. Ya Allah ya Rasulullah, Kang sipat murah lan asih, Mugi-mugi aparinga, Pitulung ingkang martani. Ing alam awal akhir, Dumununging gesang ulun, Mangkya sampun awredha, Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan

Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih, mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini. Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana. Hanya Engkau yang mampu menolong kami.

12. Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruraha, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badharing sapudhendha, Antuk mayar sawetawis, BoRONG angGA saWARga meSI marTAya

Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa, mampu menjalankan “mati didalam hidup.” Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan. Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya. Kemudian kami serahkan jiwa dan raga kami
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com