Kamis, 31 Januari 2013

Carel Frederik Winter: Indo Sahabat Pujangga

0 komentar


Komplek Makam Ronggowarsito & C.F Winter


Salah seorang sahabat R.Ng. Ranggawarsita atau Bagus Burhan adalah Carel Frederik (CF) Winter. Kendati keturunan Belanda, namun Winter menjadi salah satunya priyayi penting yang dianggap membantu pernjuangannya Ranggawarsita dalam melawan penjajah, lewat karya sastranya seperti Serat Kalatidha yang terkenal akan ramalan Jaman Edan.

CF Winter sendiri lahir di Yogyakarta pada 5 Juli 1799. Semasa hidupnya, CF Winter pernah menjadi juru alih aksara dan penerjemah (translator) bahasa Belanda dan Jawa di Kantor Residen Surakarta. Berawal dari pekerjaannya, Winter bisa berkenalan dan dekat dengan pujangga Keraton Surakarta, Ranggawarsita. Dengan bantuan Winter, di sana Ranggawarsita serta para priyayi Jawa bisa belajar bermacam-macam ilmu dan tatanan internasional, yang ditulis dalam buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris.

Winter mempunyai isteri bernama Jacoba Hendrika Logeman, yang juga membantu Winter bekerja menjadi penerjemah. Ada satu cerita yang menyebutkan bahwa Winter dan Ranggawarsita pernah membawa surat kabar bernama Bramartani, yang diterbitkan ke dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Jawa. Juga surat kabar yang lainnya, yang terbit di Belanda.

CF Winter meninggal pada 14 Januari 1859. Dan ketika meninggal dimakamkan di Pemakaman Belanda, Kerkop, yang berada di Jebres, Surakarta. Begitu pula isterinya setelah meninggal, juga dimakamkan di Kerkop. Namun dengan izin Presiden Soeharto, pada 30 Januari 1984, makam CF Winter dan isterinya dipindahkan ke Dusun Palar, Klaten, di sebelah baratnya makam Pujangga Ranggawarsita. Hal ini supaya menjadi tanda, dan penghormatan atas persahabatan Winter dan Ranggawarsita. Sampai sekarang, makam CF Winter sering diziarahi oleh para peneliti dan sastrawan, juga para pecinta karya besar Ranggawarsita.

Selasa, 29 Januari 2013

Serat Sabda Jati

2 komentar



R.Ng.Ronggowarsito

Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu, MarGAne suka basuki, Dimen luWAR kang kinayun, Kalising panggawe SIsip, Ingkang TAberi prihatos

Jangan berhenti, selalulah berusaha berbuat kebajikan, agar mendapat kebahagiaan serta keselamatan dan tercapai segala cita-cita, maupun terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan; caranya haruslah gemar prihatin.

2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh, Galedehan kang sayekti, Talitinen awya kleru, Larasen sajroning ati, Tumanggap dimen tumanggon

Dalam hidup yang penuh keprihatinan ini pandanglah dengan seksama, intropeksi diri, telitilah jangan sampai salah, endapkanlah didalam hati, agar mudah menanggapi sesuatu.

3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, Angayomi ing tyas wening, Eninging ati kang suwung, Nanging sejatining isi, Isine cipta sayektos

Bisanya demikian kalau senantiasa mendambakan kebajikan, mengendapkan pikiran, mawas diri, sampai seolah-olah hati ini kosong, namun sebenarnya berisi cipta yang sejati.

4. Lakonana klawan sabaraning kalbu, Lamun obah niniwasi, Kasusupan setan gundhul, Ambebidung nggawa kendhi, Isine rupiah kethon

Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran. Sebab jika bergeser dari hidup yang penuh kebajikan akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul, yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.

5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu, Dadi panggonaning iblis, Mlebu mring alam pakewuh, Ewuh mring pananing ati, Temah wuru kabesturon

Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi sarang iblis, selalu mendapatkan kesulitan dan kerepotan, tidak dapat berbuat dengan tekad hati yang baik, seperti orang yang mabuk kepayang.

6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu, Hayuning tyas sipat kuping, Kinepung panggawe rusuh, Lali pasihaning Gusti, Ginuntingan dening Hyang Manon

Bila sudah terlanjur demikian, tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju kepada kebajikan. Segala hal yang baik, ia  lari darinya, sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek. Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.

7. Parandene kabeh kang samya andulu, Ulap kalilipen wedhi, Akeh ingkang padha sujut, Kinira yen Jabaranil, Kautus dening Hyang Manon

Namun demikian, banyak juga yang melihatnya, dengan mata yang seperti kemasukan pasir, banyak diantara mereka yang menyembah-nyembah, menganggapnya sebagai wali yang diutus Tuhan.

8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh, Kewuhan sajroning ati, Yen taniru ora urus, Uripe kaesi-esi, Yen niruwa dadi asor

Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya gelisah melihat fenomena demikian. Bila tak mengikuti hidupnya menderita, namun bila diikuti hidupnya akan tercela

9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, Anggelar sakalir-kalir, Kalamun temen tinemu, Kabegjane anekani, Kamurahane Hyang Manon

Mereka tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan langit, barang siapa yang berusaha dengan tekun pasti akan mendapatkan kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.

10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun, Yen temen-temen sayekti, Dewa aparing pitulung Nora kurang sandhang bukti, Saciptanira kelakon

Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati. Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.

11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur, Saka pengunahing Widi, Ambuka warananipun, Aling-aling kang ngalingi, Angilang satemah katon

Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung yang termasuk rahasia Tuhan, agar dapat diketahui sebagai petunjuk.

12. Para jalma sajroning jaman pakewuh, Sudranira andadi, Rahurune saya ndarung, Keh tyas mirong murang margi, Kasekten wus nora katon

Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan, cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela, perbuatannya makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan diatas jalan kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.

13. Katuwane winawas dahat matrenyuh, Kenyaming sasmita sayekti, Sanityasa tyas malakut, Kongas welase kepati, Sulaking jaman prihatos

Lama kelamaan makin menambah rasa  prihatin, tersentuh oleh pertanda zaman  tersebut, sang pujangga hanya bisa merenung diri melihat membuncahnya keprihatinan itu.

14. Waluyane benjang lamun ana wiku, Memuji ngesthi sawiji, Sabuk tebu lir majenum, Galibedan tudang tuding, Anacahken sakehing wong

Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah ada pertapa yang mengajak pada ketauhidan, ia bersabuk tebu dan berpenampilan seperti orang gila, suka menuding kesana kemari menghitung banyaknya orang.

15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu, Kala Suba kang gumanti, Wong cilik bisa gumuyu, Nora kurang sandhang bukti, Sedyane kabeh kelakon

Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba. Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.

16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput, Mulur lir benang tinarik, Nanging kaseranging ngumur, Andungkap kasidan jati, Mulih mring jatining enggon

Sayang sekali "pengelihatan" Sang Pujangga belum sampai selesai, bagaikan menarik benang dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

17.Amung kurang wolung ari kang kadulu, Tamating pati patitis, Wus katon neng lokil makpul, Angumpul ing madya ari, Amerengi Sri Budha Pon

Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah sampai waktunya, kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.

18. Tanggal kaping lima antarane luhur, Selaning tahun Jimakir, Taluhu marjayeng janggur, Sengara winduning pati, Netepi ngumpul sak enggon

Tanggal 5 bulan Sela (Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873) kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.

19. Cinitra ri budha kaping wolulikur, Sawal ing tahun Jimakir, Candraning warsa pinetung, Sembah mekswa pejangga ji, Ki Pujangga pamit layoti

Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802. (Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi 1873).

Serat Kalatidha

0 komentar

R.Ng. Ronggowarsito

Sinom
1. Mangkya darajating praja, Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda

Keadaan negara saat ini, sudah semakin tak karuan. Sistem tata negara telah rusak, karena sudah tak ada yang bisa diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah leluhur. Para cerdik cendekia pun juga terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya kian mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.

2. Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara

Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik, namun mereka semua itu tidak bisa menciptakan kebaikan di masyarakat. Oleh karena daya jaman Kala Bendu. Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi. Lain orang lain pikiran dan tujuannya.

3.Katetangi tangisira, Sira sang paramengkawi, Kawileting tyas duhkita, atamen ing ren wirangi, Dening upaya sandi, Sumaruna angrawung, Mangimur manuhara, Met pamrih melik pakolih, Temah suka ing karsa tanpa wiweka

Saat itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan, mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang. Tampaknya orang tersebut memberi harapan yang cukup menggiurkan sehingga sang Pujangga terlalu gembira dan tidak waspada.

4.Dasar karoban pawarta, Bebaratun ujar lamis, Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri, Yan pinikir sayekti, Mundhak apa aneng ngayun, Andhedher kaluputan, Siniraman banyu lali, Lamun tuwuh dadi kekembanging beka

Persoalannya kemudian adalah karena kabar angin yang tidak menentu. Kabarnya akan ditempatkan sebagai orang yang didepan, tetapi akhirnya sama sekali tidak benar, bahkan tidak diperhatikan sama sekali. Sebenarnya kalau direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemimpin? Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja. Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.

5. Ujaring panitisastra, Awewarah asung peling, Ing jaman keneng musibat, Wong ambeg jatmika kontit, Mengkono yen niteni, Pedah apa amituhu, Pawarta lolawara, Mundhuk angreranta ati, Angurbaya angiket cariteng kuna

Didalam buku Panitisastra sebenarnya sudah ada peringatan. Dalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai. Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin, akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik menggubah karya-karya jaman dahulu kala.

6. Keni kinarta darsana, Panglimbang ala lan becik, Sayekti akeh kewala, Lelakon kang dadi tamsil, Masalahing ngaurip, Wahaninira tinemu, Temahan anarima, Mupus pepesthening takdir Puluh-Puluh anglakoni kaelokan

Menggubah kisah lama dapat berguna untuk kaca benggala, untuk membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul. Banyak sekali contoh dalam kisah-kisah lama, mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, yang akhirnya akhirnya membuat hati bisa  "nrima" dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan. Melawan garis takdir itu sebenarnya juga hanya karena terpana oleh banyaknya keelokan yg menghanyutkan

7. Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada

Hidup didalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti trend jaman, juga tidak bisa mendapat apapun. Akhirnya malah menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan, walaupun orang yang lupa diri itu bahagia, namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa eling dan waspada.

8. Semono iku bebasan, Padu-padune kepengin, Enggih mekoten man Doblang, Bener ingkang angarani. Nanging sajroning batin, Sejatine nyamut-nyamut, Wis tuwa arep apa, Muhung mahas ing asepi, Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

Semua itu sebenarnya hanya karna gejolak hati. Betul bukan ? Memang benar jika ada yang berkata demikian. Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua, apa pula yang mau dicari. Lebih baik menyepi agar mendapat ampunan dari Tuhan.

9.Beda lan kang wus santosa, Kinarilah ing Hyang Widhi, Satiba malanganeya, Tan susah ngupaya kasil. Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung, Marga samaning titah, Rupa sabarang pakolih, Parandene maksih taberi ikhtiyar

Lain lagi bagi mereka yang sudah kuat, akan mendapatkan rakhmat Tuhan. Bagaimanapun keadaannya, nasibnya selalu baik. Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah. Namun meski demikian mereka masih juga perlu berikhtiar.

10. Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana riwayat muni, Ikhtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma

Jalani saja sekedarnya. Hanya sekedar untuk menghibur hati. Asal tak menimbulkan persoalan tak masalah. Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ber-ikhtiar, hanya harus diingat: harus memilih jalan yang baik. Bersamaan dengan itu, juga harus awas dan waspada, agar selalu mendapat berkah dari Tuhan.

11. Ya Allah ya Rasulullah, Kang sipat murah lan asih, Mugi-mugi aparinga, Pitulung ingkang martani. Ing alam awal akhir, Dumununging gesang ulun, Mangkya sampun awredha, Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan

Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih, mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini. Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana. Hanya Engkau yang mampu menolong kami.

12. Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruraha, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badharing sapudhendha, Antuk mayar sawetawis, BoRONG angGA saWARga meSI marTAya

Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa, mampu menjalankan “mati didalam hidup.” Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan. Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya. Kemudian kami serahkan jiwa dan raga kami

Ziarah ke Makam Pujangga Ronggowarsito

0 komentar
Makam R.Ng Ronggowarsito
Tempat yang satu ini sangat dikeramatkan, tak sekedar oleh warga sekitar saja, bahkan pula oleh bangsa ini. Banyak para pemimpin negeri yang telah mengunjungi makam pujangga besar kenamaan ini, apalagi saat akan digelarnya perhelatan akbar pemilihan presiden. Konon dipercaya, dengan berziarah ke makam ini akan memapu memuluskan jalan menuju kursi nomor satu negeri ini.

Tempat ini berupa sebuah kompleks kuburan kuno yang ada di Dusun Kedon, Palar, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Di areal kompleks makam seluas kurang lebih 100 meter persegi ini, di sinilah makam para leluhur dan para pendiri kota Klaten ini dimakamkan.

Di makam yang berjarak sekitar 10 km sebelah tenggara pusat kota Klaten ini pula bersemayam jasad seorang tokoh besar dalam sejarah cerita babad tanah Jawa, yaitu Raden Ngabei Ronggowarsito.

Diceritakan oleh Mbah Sewo (80), nenek tua juru kunci kompleks makam tua ini kepada penulis; Ronggowarsito adalah seorang tokoh pujangga alias peramal ulung yang sangat disegani oleh para raja-raja yang ada di tanah Jawa. Ronggowarsito lahir di Yosodipura, Surakarta, Jawa Tengah, dengan nama kecil yaitu Bagus Burhan. Dalam penanggalan Jawa, Ronggowarsito terlahir pada tanggal 10 Dzulkaidah, tahun Be 1728, wuku Sungsang, atau dalam hitungan penanggalan Masehi berarti tanggal 15 Maret 1802, tepat pukul 12 siang.

Karena kepekaan spiritual dan olah kebatinan yang dimilikinya, Ronggowarsito akhirnya didaulat oleh Keraton Surakarta untuk menjadi peramal istana. Keraton Suakarta ini merupakan kerajaan pecahan dari Keraton Yogyakarta paska Perjanjian Giyanti tahun 1755. “Tugas dari Raden Ronggowarsito adalah meramalkan setiap apa saja yang bakalan terjadi pada pemerintahan Keraton Surakarta,” jelas nenek 12 cucu ini.

Di lingkungan kerajaan jaman dahulu, keberadaan seorang peramal istana memang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan kehidupan bagi kerajaan itu. Selain untuk meramalkan tentang apa yang akan terjadi terhadap kehidupan kerajaan, seorang pujangga juga dibutuhkan jasanya untuk meramalkan kekuasaan dari sang raja itu sendiri di kemudian hari.

Artinya, dengan ramalan-ramalan dari seorang ahli nujum istana tersebut, sang raja pun bisa mengantisipasi sejak awal guna mengamankan posisi kekuasaannya dari gangguan perusuh yang ingin menjatuhkan dan menggantikan posisinya.

Ronggowarsito mengabdi sebagai ahli ramal Keraton Surakarta ini sejak masa pemerintahan Sultan PB VII hingga Sultan PB VIII di keraton tersebut. Berkat ramalan-ramalan dari Ronggowarsito, Keraton Surakarta sempat mengalami masa kejayaan dan menjadi kerajaan yang disegani di kawasan tanah Jawa.

Ronggowarsito meninggal dunia pada tahun 1873 dalam usia 71 tahun. Dalam salah satu wasiat terakhirnya, Ronggowarsito berpesan untuk dimakamkam berdekatan dengan pusara kakeknya, yaitu Sudiro Dirjo Gantang di kompleks dimana kini makam Ronggowarsito berada.

Kematian Ronggowarsito merupakan kehilangan besar bagi Keraton Surakarta. Ronggowarsito tutup usia dengan meninggalkan ratusan ramalan-ramalan yang ditulisnya dalam bentuk syair dan bait yang sampai saat ini terus menjadi tanda tanya besar yang belum terpecahkan bagi masyarakat Jawa pada umumnya.

Soekarno Juga Percaya Ramalan Ronggowarsito

Sebagai seorang peramal kerajaan besar, hampir semua ramalan-ramalan dari sang pujangga yang tertulis dalam beberapa kitab inipun tidak pernah meleset bagi apa yang terjadi dikehidupan Kerajaan Surakarta dikemudian hari.

Saking mahsyurnya ramalan Ronggowarsito ini, bahkan kitab-kitab ramalannya pun dipercaya juga berlaku bagi apa yang akan terjadi bagi kehidupan negeri ini, Indonesia. Salah satu orang yang sangat percaya dengan ramalan Ronggowarsito tersebut adalah mendiang Soekarno, presiden pertama negeri ini.

Ronggowarsito merupakan salah satu tokoh yang menjadi panutan Soekarno. Pemimpin yang kental dengan olah kebatinan Jawa ini pun semasa hidupnya sering mengunjungi kompleks makam ini untuk berziarah dan meminta petunjuk serta restu di hadapan pusara Ronggowarsito.

“Pada tahun 1952, Pak Karno merenovasi makam R.Ng Ronggowarsito. Makam Raden Ronggowarsito dibuatkan bangunan tersendiri dan baru selesai pembanguannya pada tahun 1954,” terang nenek tua yang mewarisi jabatan menjadi juru kunci makam Ronggowarsito dari suaminya yang telah meninggal dunia pada tahun 1978.

Oleh mendiang Soekarno, pusara Ronggowarsito dibuat terpisah dari makam lainnya, masih di dalam kompleks makam tersebut. Makam tokoh legendaris ini pun dibuatkan bangunan permanen tersendiri seperti rumah, yang disebut cungkup.

Di dalam cungkup seluas sekitar 50 meter persegi tersebut, terdapat pula 11 nisan kerabat dekat Ronggowarsito yang diantaranya adalah kedua istri tercintanya yang bernama, Raden Ayu Gombak dan Raden Kumaradewa. Nisan pusara Rongowarsito terbuat dari batu marmer putih besar setinggi sekitar 1 m yang ditutupi kain kelambu berwarna putih.

Selama hidupnya, Proklamator ini pun sering pula menerapkan ramalan-ramalan dari Ronggowarsito dalam setiap langkah politiknya, baik di dalam politik luar negeri ataupun dalam politik nasional bangsa ini dan menjadikan ramalan tersebut sebagai peringatan akan kejadian negeri ini yang akan datang. Termasuk ramalan tentang akan berakhirnya kekuasaannya ditangan Soeharto. Soekarno pun telah mengetahui jauh-jauh sebelumnya.

“Ada beberapa ramalan Ronggowarsito yang berkaitan dengan kehidupan bangsa ini, misalnya kitab Kalatidha. Syair-syair yang tertulis dalam kitab tersebut menceritakan tentang jaman edan,” cerita Mbah Sewo.

Jaman edan yang dimaksud dalam kitab Kalatidha tersebut, adalah jaman dimana situasi negeri ini serba tidak terkendali, kondisi bangsa ini mirip seperti kondisi seorang edan alias gila. Jika ditafsirkan, jaman edan tersebut adalah jaman ketika pemberontakan G/30S/PKI dan masa revolusi yang akhirnya mengakhiri karir politik dan pemerintahan Soekarno.

Mencoba ditafsirkannya lagi oleh Mbah Sewo, bahwa peristiwa jaman edan tersebut terulang kembali ketika awal akan lengser keprabon alias runtuhnya rezim Suharto setelah sekitar 32 tahun bertahta. “Jaman edan pada kitab Kalatidha tersebut juga terbukti pada jaman roformasi, saat Pak Harto akan berhenti jadi presiden,” terang buyut 8 cicit ini.

Ramai Saat ada Pemilu

Makam Ronggowarsito ini juga menyimpan misteri lain. Mitosnya, makam ahli nujum kerajaan Surakarta ini juga dipercaya mampu untuk mendongkrak alias menaikan pamor dan drajat bagi mereka yang datang dan mendoakan Ronggowarsito di makam ini. Dalam hal ini adalah derajat untuk kepentingan kepemimpinan.

“Mamang benar, makam Raden Ronggowarsito ini dipercaya oleh orang banyak akan mampu untuk meningkatkan derajat, pangkat, serta wibawa seseorang, bagi siapa saja yang melakukan ziarah ke makam Raden Ronggowarsito ini.”

Jejak Bung Karno yang sering mengunjungi dan berziarah serta laku perihatin di makam Ronggowarsito, akhirnya berhasil membuat dirinya memimpin negeri ini sebagai presiden pertama. Ritual seperti itu pulalah yang juga ditiru oleh banyak orang yang ingin berhasil menjadi seorang pemimpin, baik dari tingkat pemimpin desa sampai pada tingkat pemimpin sekelas presiden.

Seperti dikatakan Mbah Sewo, banyak orang-orang penting negeri ini yang telah mengunjungai makam Ronggowarsito. Hampir semuanya yang mengunjungi dan berziarah di makam ini, tak lama kemudian terkabul keinginannya untuk menjadi seorang pemimpin.

“Dahulu Gus Dur pernah ziarah ke makam Raden Ronggowarsito ini, itu sekitar tahun 1998, setelah Pak Harto berakhir menjadi Presiden. Gus Dur ke sini cuma sebentar, langsung pergi tanpa pamit kepada saya,” kenang Mbah Sewo.

Terbukti, setelah kedatangan Gus Dur alias Abdurrahman Wahid di tempat ini, setahun kemudian, di tahun 1999 dirinya mampu bertahta menjadi Presiden ke-4 negeri ini, menggantikan presiden sementara kala itu, BJ Habibie.

Tak berselang lama, giliran Megawati Soekarnoputri datang berziarah di makam Ronggowarsito ini mengikuti jejak oran tuanya, Soekarno. Kala itu Magawati masih menjadi Wakil dari Presiden Abdurrahman Wahid.
“Malam-malam sekitar jam 2 pagi saya disusul oleh warga sini, katanya ada Ibu Megawati datang mau ziarah. Lalu saya datang ke makam untuk membukakan pintu makam Raden Ronggowarsito. Saya lihat Ibu Megawati memakai kerudung dan menaburkan bunga di pusara makam Raden Ronggowarsito bersama 2 orang perempuan lainnya.”

Yang terjadi kemudian, keinginan Megawati terkabul juga untuk naik tahta menjadi presiden. Pada tanggal 23 Juli 2001, akhirnya Megawati resmi menjadi presiden ke-5, sekaligus presiden perempuan pertama di negeri ini menggantikan presiden sebelumnya, Abdurrahman Wahid.

Mbah Sewo pernah juga menerima kedatangan Khofifah Indar Parawansa, tokoh perempuan yang cukup dekat dengan keluarga Gus Dur, untuk berziarah di makam Ronggowarsit. “Saat itu pas ramainya beliau akan dicalonkan untuk menjadi menteri.”

Dan benar, tak selang lama kemudian setelah kedatangannya di makam ini, akhirnya Khofifah pun dilantik untuk menduduki posisi sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan pada kabinet menteri masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati.

“Pak Bibit Waluyo juga pernah ke sini sebelum pemilihan Gubernur Jawa Tengah, akhirnya beliau terpilih menjadi Gubernur Jawa Tengah. Besok kalau pemilihan presiden sudah dekat, pasti banyak orang penting yang akan datang berziarah ke makam Raden Ronggowarsito ini lagi,” tuturnya.

R.Ng Ronggowarsito Sang Filusuf Nusantara

0 komentar

Add caption
Ronggowarsito dalam Selubung Mitos
Kolonialisme yang terjadi hingga pertengahan abad ke 20 bukan hanya dalam bentuk penjajahan secara fisik, melainkan penjajahan pikiran. Inilah yang menjadi persoalan. Meskipun Negara kita sudah memproklamasikan merdeka, tetapi tan pa kita sadari pemikiran  kita belum bebas dari sisa-sisa penjajahan tempo dulu. 

Penjajahan pikiran ini antara lain tercermin dalam berbagai mitos yang berkembang di negeri ini, baik mitos terhadap tokoh (Sukarno, Pangeran Diponegoro, dan lain-lain), mitos terhadap tempat (makam keramat, Gunung angker, dan lain-lain), mitos terhadap benda purbakala (candi, menhir, keris dan lain-lain).

Harus diakui, penilaian terhadap mitos itu relatif: ada mitos baik, mitos buruk, mitos benar dan mitos salah. Atau dengan kata lain, apapun mitos yang selama ini berkembang di masyarakat masih tetap dapat diperdebatkan nilai dan fungsinya.

Tulisan ini sekilas mengulas seputar mitos terhadap seorang putra terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini yang namanya sangat fenomenal: Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873). Sosok fenomenal ini dikenal karena kecerdasan supranaturalnya yang jauh di atas orang-orang pada masanya. Bahkan hingga kini, kecerdasan supranaturalnya belum tertandingi siapapun.

Dalam berbagai buku, makalah, seminar, skripsi, disertasi, tulisan di internet dan ulasan berbagai media, senantiasa menempatkan Ronggowarsito sebagai pujangga dan peramal terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini.

Ronggowarsito terkenal karena karya-karyanya mengandung bermacam ramalan hingga ratusan tahun ke depan. Serat Kalatidha berikut ini salah satunya:

Amenangi zaman edan,
Ewuh aya ing pambudi,
Milu edan nora tahan,
Yen tan milu anglakoni,
Boya kadumen melik,
Kaliren wekasanipun,
Ndilalah kersa Allah,
Begja begjane kang lali,
Luwih begja kang eling klawan waspada,
Maknanya:
Menyaksikan zaman gila,
Serba susah dalam bertindak,
Ikut gila tidak akan tahan,
Tapi kalau tidak mengikuti (gila),
Tidak akan mendapat bagian,
Kelaparan pada akhirnya,
Namun telah menjadi kehendak Alloh,
Sebahagia-bahagianya orang yang lalai (lupa),
Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Karya-karya Ronggowarsito yang terkenal diantaranya: Serat Kalatidha berisi gambaran penjajahan yang disebut Zaman Edan. Serat Jaka Lodhang berisi ramalan datangnya Zaman Baik dan Serat Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat Zaman Makmur dan Perilaku Manusia yang Tamak. Bahkan menjelang akhir hayatnya, beliau menulis Serat Sabda Jati yang diantaranya berisi ramalan saat kematiannya sendiri.

Tetapi, nanti dulu. Sosok fenomenal yang namanya selalu diidentikkan dengan julukan peramal ini tampaknya tidak sesuai lagi disematkan pada Ronggowarsito. Julukan peramal adalah mitos menyesatkan yang dengan atau tanpa sengaja tertanam kuat di dalam benak masyarakat. Dengan kata lain, Ronggowarsito memiliki kecerdasan yang lebih dari sekadar seorang peramal. Ronggowarsito adalah filsuf besar Nusantara.

Ronggowarsito Tak Sekadar Peramal
Menempatkan Ronggowarsito sebagai filsuf besar Nusantara, daripada sekadar pujangga dan peramal, diuraikan dalam buku Mengenali Ronggowarsito sebagai Filsuf  : Ketika Pemikiran Filsafat Dianggap Ramalan (Bidik-Phronesis Publishing, Jakarta, Mei 2012). Buku ini ditulis Lilik Sofyan Achmad (LSA) yang sejauh ini dikenal sebagai Guru Besar yang tekun dalam meneliti dan mengkaji karya-karya Ronggowarsito.

Gagasan penulisan buku ini berawal dari sebuah pertanyaan besar: Apakah pemikiran-pemikiran Ronggowarsito hanya berisi ramalan-ramalan belaka? Pertanyaan inilah yang membawa LSA menelusuri secara jernih, teliti dan tajam terhadap seluruh karya Ronggowarsito. Lalu dari hasil kajiannya selama bertahun-tahun, LSA menyimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran Ronggowarsito terbukti memiliki sistematika yang logis. Inilah yang secara meyakinkan menempatkan Ronggowarsito sebagai seorang filsuf besar yang pernah dimiliki bangsa ini.

Buku setebal 88 halaman ini merangkum hasil kajian LSA dalam hal pembuktian Ronggowarsito sebagai filsuf besar Nusantara yang sejajar dengan filsuf-filsuf besar negeri ini dan dunia dan bukan sekadar pujangga kraton, peramal, cenayang, paranormal atau apapun namanya.

Buku ini diawali dengan bab 1 yang mengisahkan masa kecil dan perjalanan karir Ronggowarsito. Bab 2 seputar teori paska kolonial dan relevansinya dengan pemikiran Ronggowarsito. Bab 3 mengungkap segala sesuatu yang dibangun dengan mitos dan bagian Penutup.

Buku ini menjadi menarik karena pada bagian akhir terdapat epilog berjudul Ronggowarsito Memang Filsuf yang ditulis Turita Indah Setyani. Dia adalah peneliti sastra dan budaya Jawa lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia di bidang kajian budaya dan feminisme yang kerap menjadi pembicara di pelbagai forum ilmiah nasional dan internasional. Tulisan Turita Indah Setyani sangat membantu Pembaca dalam memahami seluruh rangkaian isi buku ini.

Tidak kalah menariknya adalah kata pengantar buku ini yang ditulis Riko, Direktur Penerbit Buku Bidik-Phronesis Publishing. Riko tampaknya faham benar dengan LSA yang dilanda kegelisahan terhadap sosok Ronggowarsito yang hanya dikenal generasi muda bangsa ini sebagai seorang peramal.

Riko membuka jalan bagi LSA untuk mempublikasikan hasil kajiannya. Buku Mengenali Ronggowarsito sebagai Filsuf merupakan buku pertama yang terbit di Tanah Air yang secara tegas dan ilmiah memberi julukan baru kepada sosok fenomenal Ronggowarsito.

Sebuah Usaha Membongkar Mitos
Anda tentu sudah lama mengetahui bahwa Ronggowarsito adalah seorang peramal ulung. Lalu Anda mungkin bertanya-tanya: Apakah terbitnya buku ini akan menumbangkan reputasi Ronggowarsito sebagai peramal?
Jawabannya: Tidak.

Buku ini sama sekali tidak bermaksud meruntuhkan Ronggowarsito sebagai seorang peramal yang ramalan-ramalannya masih relevan hingga saat ini, sebagaimana kutipan ramalan di atas. Buku ini justru hendak menegaskan bahwa Ronggowarsito memiliki kecerdasan yang jauh lebih tinggi daripada sekadar menempatkannya sebagai seorang peramal. Pemikiran-pemikiran Ronggowarsito yang terangkum dalam karya-karya monumentalnya itu bukanlah kitab ramalan, melainkan kitab filsafat. Ramalan hanya sebagian saja dari seluruh pemikiran filsafat Ronggowarsito.

Lalu pertanyaannya, mengapa selama ini kita mengenal Ronggowarsito sebagai peramal?
Inilah yang saya maksud dengan penjajahan pikiran. Sebagaimana petikan puisi Rudyard Kipling di atas (East is East and West is West, and never the twain shall meet).

Sejak dulu, bangsa Barat mencoba menanamkan ke dalam pikiran bangsa Timur bahwa para filsuf (atau para pemikir dunia) hanya milik bangsa Barat (baca: Eropa dan Amerika). Sehingga klaim majunya peradaban dan kecerdasan manusia harus selalu dimulai dari bangsa Barat.

Sedangkan bangsa Barat selalu mengidentikkan bangsa Timur dengan ramalan, mistik, supranatural yang dianggap sumber keterbelakangan. Padahal, manusia-manusia dari ras bangsa Timur ini memiliki kecerdasan yang setara dengan kecerdasan bangsa Barat.

Membaca buku baru ini memberi keyakinan kepada saya bahwa sosok fenomenal Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah selayaknya disejajarkan dengan para filsuf negeri ini dan filsuf dunia. Tujuan utama penulis buku ini, tentu saja, hendak menempatkan pemikiran Ronggowarsito dalam pisau bedah filsafat dan tidak lagi membiarkan para petualang mistik, supranatural atau klenik, terus berputar-putar membicarakan ramalan Satrio Piningit, Zaman Edan dan sejenisnya.

Kajian pemikiran Ronggowarsito dapat berada dalam meja yang sama dengan para filsuf lainnya di negeri ini, seperti Tantular, Paku Buwana IV,  Ki Hajar Dewantara, Driyarkara, Romo Sugijapranata, Hamka, Franz Magnis Suseno, Leo Suryadinata, Nurcholish Madjid, Damarjati Supadjar, FX. Mudji Sutrisno dan lain-lain.
Dan bagi Anda yang senang menggeluti filsafat dan budaya Nusantara, maka saya merekomendasikan untuk membaca buku ini. Selamat Menikmati.

Tahun terbit: 2012.
Jumlah Hal: 88 hal.
Ukuran: 11,5 cm x 18,5 cm.
(Soft Cover, book paper).
Penerbit: Bidik-Phronesis Publishing.
Harga: Rp. 26.000,-

 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com