Judul buku : Urban Sufisme
Editor : Martin Van Bruinessen & Julia Day Howel
Kaya Pengantar : Azyumardi Azra
Penerbit : Rajawali Press, Jakarta
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : xii + 578 hal
Editor : Martin Van Bruinessen & Julia Day Howel
Kaya Pengantar : Azyumardi Azra
Penerbit : Rajawali Press, Jakarta
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : xii + 578 hal
Dalam mainstream literatur teori sosial, kita
dikenalkan dengan ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ sebagai sebuah ekspresi
keislaman yang didalamnya terkandung gagasan tentang dunia sebagai sebuah
‘emanasi’ dari Tuhan dan ‘paralelisme’ mikrokosmos dan makrokosmos. Ia juga
bisa dimengerti sebagai perkumpulan sukarela yang para anggotanya bergabung dengan
tujuan yang terkait dengan konsepsi tentang ‘kemaslahatan umat’. Beberapa
kelompok ‘sufi’ membangun dengan pola-pola hirarkhi tarekat yang ketat tetapi
tidak sedikit pula yang membangunnya dengan asosiasi yang lebih longgar.
Kedekatan diri dengan Allah kerap kali dibangun dengan berbagai praktik seperti
zikir, doa, menyebutkan sifat-sifat dan teknik-teknik olah tubuh olah batin
lainnya lainnya seperti cara-cara ‘meditasi’ dan ‘kontenplasi’. Memelihara
solidaritas, persahabatan dan kedekatan antara ‘syaikh’ atau ‘mursyid’ dan
murid-murid melalui pembelajaran pengutamaan tradisi dan perilaku yang benar
merupakan karakteristik yang selalu dipraktikkan dalam kehidupan tarekat
mereka. Meskipun batasan pengertian ini tidaklah sesuatu yang baku, minimal
gambaran wajah inilah yang oleh awam kerap dipahami.
Tentu tidak terlalu asing untuk mengenal
gerakan-gerakan cabang ‘sufisme’ dalam skala global yang popular seperti
‘Naqsabandiyah’, ‘Khalwatiyah’, ‘Tijaniyah’, ‘Qadiriyah’, ‘Ahmadiyah’,
‘Syadziliah’, ‘Mawlawiyah’, dan beberapa gerakan sufisme berpengaruh di tingkat
lokal lainnya seperti ‘Syattariyah’ ‘Wahidiyah’ dan ‘Rida’iyah’. Nama-nama
besar Syaikh sufi yang cukup terkenal bisa kita dapat seperti Ibnu Arabi,
al-Jilli, Ghazali, Ahmad Kuftaru, Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rumi, Inayat Khan dan
pemikir pembaharu sufisme lainnya seperti Hamka yang popular di Indonesia.
Beberapa aliran besar ‘sufismer’ ini kemudian telah banyak berkembang dan
bermetamorfosis ke anak cabangnya di beberapa negara.
Beberapa komunitas dan gerakan Islam besar di
Indonesia seperti Nahdatul Ulama (NU) misalnya, pada beberapa hal lebih toleran
terhadap perkembangan tarekat-tarekat sufi. Garis batas yang dipegang sebagai
prinsip penilaian bagi NU terletak pada apakah tarekat sufi ini tarekat “mu’tabarah”
atau tarekat “ghairu mu’tabarah”. Tarekat “mu’tabarah” dengan sendirinya adalah
tarekat yang ‘sahih’ (benar)_karena memiliki pertalian hubungan guru-murid
sampai nabi Muhammad Saw. Sebaliknya tarekat “ghairu mu’tabarah” dianjurkan
untuk tidak diikuti untuk menghindari hal yang salah dalam menjalani hidup
kesufian. Perkembangan kontemporer, sufisme baik “mu’tabarah” maupun “ghairu
mu’tabarah” berkembang semakin luas terutama jangkaunnya di komunitas urban
perkotaan. Ia membentuk format, pola dan relasi yang baru dengan perkembangan
kemodernan saat ini. Bisa kita sebut beberapa nama ‘mursyid’ terkenal dengan
tarekat sufi besarnya di Indonesia seperti KH. A. Shohibul Wafa Tajul Arifin
yang memimpin Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di Suryalaya, Jawabarat;,
KH. Asrori bin Muhammad Usman di TQN Kedinding, Surabaya, KH. Masyhuri Syahid
di TQN Jombang Jawa Timur. Kita juga cukup akrab dengan berbagai model praktik
sufi yang lebih popular dalam beberapa tahun ini dengan praktik zikir
berjamaahnya seperti Majelis Zikir pimpinan Ustad Arifin Ilham, Majelis Zikir
pimpinan H. Hariyono, Majelis Zikir As Samawat pimpinan KH. Saadi dan Majelis
Zikir Istirham pimpinan KH. Abdurrahim Rajiun. Neskipun tergolong ghairu
mu’tabarah, tetapi para peminat dan pengikutnya cukup lumayan besar.
Namun demikian, tidak sedikit pandangan muslim masih melihat ‘Sufisme’ dengan karakterisasi ‘stereotipe’ dan ‘simplistik’ sebagai sebuah ekspresi keagamaan yang akan mengalami perubahan drastis berhadapan dengan situasi modernitas. Tesis ini sejalan dengan pandangan umum yang masih melihat ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ tidak sejalan dengan rasionalitas perubahan yang membawa pola-pola hidup yang lebih maju dan lebih modern. Tasawuf cenderung diletakkan sebagai yang ‘eksesif’, ‘kuno’, ‘tradisional’, dan sekaligus ‘mistis’. Keyakinan ini sejalan dengan beberapa pemahaman arus besar muslim terhadap ‘sufisme’ yang mengkatagorikan sebagai praktik kepercayaan yang bercampur dengan bid’ah, khurafat dan juga ‘taqlid buta’ terhadap para pemimpin sufi. Dalam laju modernitas, sufisme dianggap akan melenyap.
Namun demikian, tidak sedikit pandangan muslim masih melihat ‘Sufisme’ dengan karakterisasi ‘stereotipe’ dan ‘simplistik’ sebagai sebuah ekspresi keagamaan yang akan mengalami perubahan drastis berhadapan dengan situasi modernitas. Tesis ini sejalan dengan pandangan umum yang masih melihat ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ tidak sejalan dengan rasionalitas perubahan yang membawa pola-pola hidup yang lebih maju dan lebih modern. Tasawuf cenderung diletakkan sebagai yang ‘eksesif’, ‘kuno’, ‘tradisional’, dan sekaligus ‘mistis’. Keyakinan ini sejalan dengan beberapa pemahaman arus besar muslim terhadap ‘sufisme’ yang mengkatagorikan sebagai praktik kepercayaan yang bercampur dengan bid’ah, khurafat dan juga ‘taqlid buta’ terhadap para pemimpin sufi. Dalam laju modernitas, sufisme dianggap akan melenyap.
Pada kontroversi yang lebih keras, ‘Sufisme’ kerap
mendapat serangan dan penentangan terutama oleh kelompok-kelompok ‘salafi’ dan
kelompok islam modernis dengan gerakan orientasi pemurnian islamnya. Menguatnya
marginalisasi atas eksistensi keberadaan sufisme di Indonesia terjadi terutama
pada peralihan abad ke-20 ketika terjadi penguatan gerakan ‘revitalisasi agama’
atas pengaruh kaum pembaharu Islam di Timur Tengah. Pengkarakterisasi ‘sufisme’
sebagai ‘islam yang tidak islam’ pernah cukup menguat pada saat-saat itu. Upaya
revitalisasi ini didorong juga oleh spirit untuk membersihkan Islam dari
pengaruh nilai-nilai yang dianggap ‘bukan Islam’. Atas semakin luasnya
pertentangan ini, beberapa pengamat dan penulis tentang islam memprediksikan
atas melenyapnya tradisi ‘Tasawuf’ dan gerakan ‘Sufisme’. Menurut beberapa
pengamat tentang Islam, sufisme akan menghilang dan pudar juga seiring dengan
perubahan sosial dan modernisasi. Ruang emosional keislaman akan direbut oleh
para ulama dan gerakan islam yang berpusat di kota. Asumsi ini relatif bertahan
lama hingga sisa-sisanya masih terasa saat ini.
Jika membaca dan menengok lebih jauh tentang perkembangan ‘Sufisme’ di berbagai wilayah dunia, muncul beberapa keraguan atas kebenaran anggapan-anggapan tesis di atas. Gelombang modernisasi yang dikawatirkan akan melibas setiap ekspresi ‘kekunoan’ yang tidak sejalan dengan logika pikir modern ternyata banyak sisi justru memberi sumbangsih atas kelahiran ekspresi-ekspresi keagamaan baru dalam Islam.
Jika membaca dan menengok lebih jauh tentang perkembangan ‘Sufisme’ di berbagai wilayah dunia, muncul beberapa keraguan atas kebenaran anggapan-anggapan tesis di atas. Gelombang modernisasi yang dikawatirkan akan melibas setiap ekspresi ‘kekunoan’ yang tidak sejalan dengan logika pikir modern ternyata banyak sisi justru memberi sumbangsih atas kelahiran ekspresi-ekspresi keagamaan baru dalam Islam.
Adaptasi dan
cara bertahan hidup telah ditunjukan dengan berbagai elaborasi praktik-praktik
baru ‘Sufisme’ yang berkembang semakin beragam. Ada artikulasi praktik
keislaman yang lebih luas dan menarik untuk dikaji lebih jauh ketimbang hanya
diletakkan pada pandangan dikotomis semata. Perubahan yang dibawa oleh
modernisasi banyak hal bertemu dengan berbagai kesalinghubungan konteks
perubahan ekonomi, politik, kultural dan evolusi struktur-struktur kelembagaan
lainnya. Dikotomi ‘simplistik’ yang menghadapkan ‘sufisme’ pada bentangan
katagori ‘yang modern’ dan ‘yang tradisional’ tidak menarik lagi menjadi kunci
analisis. Sebaliknya, sufisme dalam keragaman praktiknya bisa mengambil jarak
atas modernitas dan tetepai banyak hal juga bisa adaptif terhadap
tuntutan-tuntutan perubahan.
Buku ‘Urban Sufisme’ merupakan bunga rampai gagasan dari beberapa peneliti tentang ‘Sufisme’ di beberapa negara.
Buku ‘Urban Sufisme’ merupakan bunga rampai gagasan dari beberapa peneliti tentang ‘Sufisme’ di beberapa negara.
Khasanah tentang dinamika dunia ‘tasawuf’ yang memberi
pemetaan menarik. Pertama, Sufisme sebagai entitas keagamaan tidak bisa hanya
diletakkan semata pada pemahaman-pemahaman yang ‘a-historis’, ‘homogen’ dan
‘dikotomik’. Ada keragaman ekspresi, ada kekhasan tradisi dan ada multi
pandangan yang mendorong ‘Sufisme’ bertumbuh dan berkembang. Fakta kebertahanan
‘Sufisme’ ini satu sisi telah menantang perspektif lama dan sekaligus mengajak
semua orang untuk mulai memahami kelangsungan signifikansi ‘sufisme’ di dunia
modern dan kontemporer dengan lebih mendalam. Kedua, Sufisme dalam keterkaitan
dengan modernisasi tidak harus dibaca secara ‘biner’ dan hadap-berhadapan.
Dinamika dan pasang surut kehidupan ‘Sufisme’ tidak hanya disebabkan oleh
variabel modernitas. Lahirnya berbagai ‘neo-sufisme’ bisa jadi adalah hasil
tarik menarik dan saling pengaruh dari perubahan berbagai struktur dan sistem
sosial lain yang ikut berubah. Buku ini sekaligus mau mangajak untuk perlunya
konseptualisasi ulang tentang berbagai pandangan tendesnsius dan mapan terhadap
watak ‘Sufisme’. Secara etis terlihat upaya mendudukan berbagai keragaman
‘Sufisme’ dengan upaya pembacaan dan pemahaman lebih kritis melampaui
perdebatan-perdebatan yang cenderung deterministik. Ketiga, buku ini ingin
memahamkan bahwa ‘Sufisme’ dalam ekspresi dan praktiknya tidak memiliki sikap politik
yang doktrinal secara kaku. Ia tidak juga dipahami sebagai entitas yang tidak
berubah. Ia berkembang dan berevolusi dalam persentuhannya dengan faktor-faktor
internal maupun eksternal. ‘Sufisme’ juga tidak hanya mengutup pada satu mode
dan keyakinan dasar tertentu. Ia bisa terbentang dari paling ‘puritan’ sampai
yang paling ‘perenialis’. Ia juga bisa tumbuh bergerak dari yang paling
konnservatif sampai yang paling adaptif dengan arus modernitas. Ia bahkan bisa
bergerak melampauio batas ‘yang tradisional’ dan ‘yang modern’
Buku ini mengangkat beberapa hasil kajian riset
penting dan menarik tentang ‘Sufisme kontemporer’ di beberapa negara seperti
Mali, Mesir, India, Indonesia dan negara-negara maju seperti Inggris dan
Amerika Serikat. Dalam beberapa aspek, buku ini mengajukan satu model
pendekatan baru untuk melihat kembali hubungan yang lebih dinamis antara
‘Sufisme’, label-label ‘non sufi’, dan kondisi modernitas. Tidak hanya
menjangkau komunitas-komunitas sufi lokal dan domestik, beberapa hasil riset lebih
mengembangakan pada skala yang lebih luas yakni gerakan sufisme dalam skala
internasional. Kuatnya perubahan eksternal dan penentangan yang bertubi-tubi
atas eksistensi sufisme bukan menghentikan ekspresi keagamaan ini melenyap, ia
dengan berbagai keunikan, kekhasan dan juga keragaman tradisi justru berkembang
pesat. Di beberapa kehadirannya justru dimaknai sebagai cara-cara lebih
stratagis untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dari gempuran budaya ‘non
Islami’ yang semakin kuat. Sebagai halnya melekat pada konteks sosial historis, keberadaanya selalu berartikulasi dan
bersentuhan dengan dinamika perubahan tersebut.
Tesis tentang sekularisasi karena dampak modernitas
dari beberapa pemikir tentang islam semakin terbantahkan dengan kemunculan
wujud dan wajah ‘kebangkitan agama’. Sufisme bisa menjadi salah satu bagian
entitas penting dalam upaya ‘desekuralisasi’ dan penjagaan nilai-nilai
keislaman yang termasuk sangat penting. Para sufi pasca-kolonial, seperti yang
ditunjukan John O. Voll dalam halaman akhir buku ini menunjukan sebuah
kecenderungan perubahan baru wajah dan pola ‘pemasaran agama’ yang lebih
ditentukan oleh situasi objektif lingkungan sufisme berada.