Tampilkan postingan dengan label Pustaka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pustaka. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Juni 2013

DINAMIKA SUFISME MODERN

0 komentar

Judul buku : Urban Sufisme
Editor : Martin Van Bruinessen & Julia Day Howel
Kaya Pengantar : Azyumardi Azra
Penerbit : Rajawali Press, Jakarta
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : xii + 578 hal
 
Dalam mainstream literatur teori sosial, kita dikenalkan dengan ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ sebagai sebuah ekspresi keislaman yang didalamnya terkandung gagasan tentang dunia sebagai sebuah ‘emanasi’ dari Tuhan dan ‘paralelisme’ mikrokosmos dan makrokosmos. Ia juga bisa dimengerti sebagai perkumpulan sukarela yang para anggotanya bergabung dengan tujuan yang terkait dengan konsepsi tentang ‘kemaslahatan umat’. Beberapa kelompok ‘sufi’ membangun dengan pola-pola hirarkhi tarekat yang ketat tetapi tidak sedikit pula yang membangunnya dengan asosiasi yang lebih longgar. Kedekatan diri dengan Allah kerap kali dibangun dengan berbagai praktik seperti zikir, doa, menyebutkan sifat-sifat dan teknik-teknik olah tubuh olah batin lainnya lainnya seperti cara-cara ‘meditasi’ dan ‘kontenplasi’. Memelihara solidaritas, persahabatan dan kedekatan antara ‘syaikh’ atau ‘mursyid’ dan murid-murid melalui pembelajaran pengutamaan tradisi dan perilaku yang benar merupakan karakteristik yang selalu dipraktikkan dalam kehidupan tarekat mereka. Meskipun batasan pengertian ini tidaklah sesuatu yang baku, minimal gambaran wajah inilah yang oleh awam kerap dipahami.
Tentu tidak terlalu asing untuk mengenal gerakan-gerakan cabang ‘sufisme’ dalam skala global yang popular seperti ‘Naqsabandiyah’, ‘Khalwatiyah’, ‘Tijaniyah’, ‘Qadiriyah’, ‘Ahmadiyah’, ‘Syadziliah’, ‘Mawlawiyah’, dan beberapa gerakan sufisme berpengaruh di tingkat lokal lainnya seperti ‘Syattariyah’ ‘Wahidiyah’ dan ‘Rida’iyah’. Nama-nama besar Syaikh sufi yang cukup terkenal bisa kita dapat seperti Ibnu Arabi, al-Jilli, Ghazali, Ahmad Kuftaru, Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rumi, Inayat Khan dan pemikir pembaharu sufisme lainnya seperti Hamka yang popular di Indonesia. Beberapa aliran besar ‘sufismer’ ini kemudian telah banyak berkembang dan bermetamorfosis ke anak cabangnya di beberapa negara.
Beberapa komunitas dan gerakan Islam besar di Indonesia seperti Nahdatul Ulama (NU) misalnya, pada beberapa hal lebih toleran terhadap perkembangan tarekat-tarekat sufi. Garis batas yang dipegang sebagai prinsip penilaian bagi NU terletak pada apakah tarekat sufi ini tarekat “mu’tabarah” atau tarekat “ghairu mu’tabarah”. Tarekat “mu’tabarah” dengan sendirinya adalah tarekat yang ‘sahih’ (benar)_karena memiliki pertalian hubungan guru-murid sampai nabi Muhammad Saw. Sebaliknya tarekat “ghairu mu’tabarah” dianjurkan untuk tidak diikuti untuk menghindari hal yang salah dalam menjalani hidup kesufian. Perkembangan kontemporer, sufisme baik “mu’tabarah” maupun “ghairu mu’tabarah” berkembang semakin luas terutama jangkaunnya di komunitas urban perkotaan. Ia membentuk format, pola dan relasi yang baru dengan perkembangan kemodernan saat ini. Bisa kita sebut beberapa nama ‘mursyid’ terkenal dengan tarekat sufi besarnya di Indonesia seperti KH. A. Shohibul Wafa Tajul Arifin yang memimpin Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di Suryalaya, Jawabarat;, KH. Asrori bin Muhammad Usman di TQN Kedinding, Surabaya, KH. Masyhuri Syahid di TQN Jombang Jawa Timur. Kita juga cukup akrab dengan berbagai model praktik sufi yang lebih popular dalam beberapa tahun ini dengan praktik zikir berjamaahnya seperti Majelis Zikir pimpinan Ustad Arifin Ilham, Majelis Zikir pimpinan H. Hariyono, Majelis Zikir As Samawat pimpinan KH. Saadi dan Majelis Zikir Istirham pimpinan KH. Abdurrahim Rajiun. Neskipun tergolong ghairu mu’tabarah, tetapi para peminat dan pengikutnya cukup lumayan besar.
Namun demikian, tidak sedikit pandangan muslim masih melihat ‘Sufisme’ dengan karakterisasi ‘stereotipe’ dan ‘simplistik’ sebagai sebuah ekspresi keagamaan yang akan mengalami perubahan drastis berhadapan dengan situasi modernitas. Tesis ini sejalan dengan pandangan umum yang masih melihat ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ tidak sejalan dengan rasionalitas perubahan yang membawa pola-pola hidup yang lebih maju dan lebih modern. Tasawuf cenderung diletakkan sebagai yang ‘eksesif’, ‘kuno’, ‘tradisional’, dan sekaligus ‘mistis’. Keyakinan ini sejalan dengan beberapa pemahaman arus besar muslim terhadap ‘sufisme’ yang mengkatagorikan sebagai praktik kepercayaan yang bercampur dengan bid’ah, khurafat dan juga ‘taqlid buta’ terhadap para pemimpin sufi. Dalam laju modernitas, sufisme dianggap akan melenyap.
Pada kontroversi yang lebih keras, ‘Sufisme’ kerap mendapat serangan dan penentangan terutama oleh kelompok-kelompok ‘salafi’ dan kelompok islam modernis dengan gerakan orientasi pemurnian islamnya. Menguatnya marginalisasi atas eksistensi keberadaan sufisme di Indonesia terjadi terutama pada peralihan abad ke-20 ketika terjadi penguatan gerakan ‘revitalisasi agama’ atas pengaruh kaum pembaharu Islam di Timur Tengah. Pengkarakterisasi ‘sufisme’ sebagai ‘islam yang tidak islam’ pernah cukup menguat pada saat-saat itu. Upaya revitalisasi ini didorong juga oleh spirit untuk membersihkan Islam dari pengaruh nilai-nilai yang dianggap ‘bukan Islam’. Atas semakin luasnya pertentangan ini, beberapa pengamat dan penulis tentang islam memprediksikan atas melenyapnya tradisi ‘Tasawuf’ dan gerakan ‘Sufisme’. Menurut beberapa pengamat tentang Islam, sufisme akan menghilang dan pudar juga seiring dengan perubahan sosial dan modernisasi. Ruang emosional keislaman akan direbut oleh para ulama dan gerakan islam yang berpusat di kota. Asumsi ini relatif bertahan lama hingga sisa-sisanya masih terasa saat ini.
Jika membaca dan menengok lebih jauh tentang perkembangan ‘Sufisme’ di berbagai wilayah dunia, muncul beberapa keraguan atas kebenaran anggapan-anggapan tesis di atas. Gelombang modernisasi yang dikawatirkan akan melibas setiap ekspresi ‘kekunoan’ yang tidak sejalan dengan logika pikir modern ternyata banyak sisi justru memberi sumbangsih atas kelahiran ekspresi-ekspresi keagamaan baru dalam Islam.
 Adaptasi dan cara bertahan hidup telah ditunjukan dengan berbagai elaborasi praktik-praktik baru ‘Sufisme’ yang berkembang semakin beragam. Ada artikulasi praktik keislaman yang lebih luas dan menarik untuk dikaji lebih jauh ketimbang hanya diletakkan pada pandangan dikotomis semata. Perubahan yang dibawa oleh modernisasi banyak hal bertemu dengan berbagai kesalinghubungan konteks perubahan ekonomi, politik, kultural dan evolusi struktur-struktur kelembagaan lainnya. Dikotomi ‘simplistik’ yang menghadapkan ‘sufisme’ pada bentangan katagori ‘yang modern’ dan ‘yang tradisional’ tidak menarik lagi menjadi kunci analisis. Sebaliknya, sufisme dalam keragaman praktiknya bisa mengambil jarak atas modernitas dan tetepai banyak hal juga bisa adaptif terhadap tuntutan-tuntutan perubahan.
Buku ‘Urban Sufisme’ merupakan bunga rampai gagasan dari beberapa peneliti tentang ‘Sufisme’ di beberapa negara.
Khasanah tentang dinamika dunia ‘tasawuf’ yang memberi pemetaan menarik. Pertama, Sufisme sebagai entitas keagamaan tidak bisa hanya diletakkan semata pada pemahaman-pemahaman yang ‘a-historis’, ‘homogen’ dan ‘dikotomik’. Ada keragaman ekspresi, ada kekhasan tradisi dan ada multi pandangan yang mendorong ‘Sufisme’ bertumbuh dan berkembang. Fakta kebertahanan ‘Sufisme’ ini satu sisi telah menantang perspektif lama dan sekaligus mengajak semua orang untuk mulai memahami kelangsungan signifikansi ‘sufisme’ di dunia modern dan kontemporer dengan lebih mendalam. Kedua, Sufisme dalam keterkaitan dengan modernisasi tidak harus dibaca secara ‘biner’ dan hadap-berhadapan. Dinamika dan pasang surut kehidupan ‘Sufisme’ tidak hanya disebabkan oleh variabel modernitas. Lahirnya berbagai ‘neo-sufisme’ bisa jadi adalah hasil tarik menarik dan saling pengaruh dari perubahan berbagai struktur dan sistem sosial lain yang ikut berubah. Buku ini sekaligus mau mangajak untuk perlunya konseptualisasi ulang tentang berbagai pandangan tendesnsius dan mapan terhadap watak ‘Sufisme’. Secara etis terlihat upaya mendudukan berbagai keragaman ‘Sufisme’ dengan upaya pembacaan dan pemahaman lebih kritis melampaui perdebatan-perdebatan yang cenderung deterministik. Ketiga, buku ini ingin memahamkan bahwa ‘Sufisme’ dalam ekspresi dan praktiknya tidak memiliki sikap politik yang doktrinal secara kaku. Ia tidak juga dipahami sebagai entitas yang tidak berubah. Ia berkembang dan berevolusi dalam persentuhannya dengan faktor-faktor internal maupun eksternal. ‘Sufisme’ juga tidak hanya mengutup pada satu mode dan keyakinan dasar tertentu. Ia bisa terbentang dari paling ‘puritan’ sampai yang paling ‘perenialis’. Ia juga bisa tumbuh bergerak dari yang paling konnservatif sampai yang paling adaptif dengan arus modernitas. Ia bahkan bisa bergerak melampauio batas ‘yang tradisional’ dan ‘yang modern’
Buku ini mengangkat beberapa hasil kajian riset penting dan menarik tentang ‘Sufisme kontemporer’ di beberapa negara seperti Mali, Mesir, India, Indonesia dan negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dalam beberapa aspek, buku ini mengajukan satu model pendekatan baru untuk melihat kembali hubungan yang lebih dinamis antara ‘Sufisme’, label-label ‘non sufi’, dan kondisi modernitas. Tidak hanya menjangkau komunitas-komunitas sufi lokal dan domestik, beberapa hasil riset lebih mengembangakan pada skala yang lebih luas yakni gerakan sufisme dalam skala internasional. Kuatnya perubahan eksternal dan penentangan yang bertubi-tubi atas eksistensi sufisme bukan menghentikan ekspresi keagamaan ini melenyap, ia dengan berbagai keunikan, kekhasan dan juga keragaman tradisi justru berkembang pesat. Di beberapa kehadirannya justru dimaknai sebagai cara-cara lebih stratagis untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dari gempuran budaya ‘non Islami’ yang semakin kuat. Sebagai halnya melekat pada konteks sosial historis, keberadaanya selalu berartikulasi dan bersentuhan dengan dinamika perubahan tersebut.
Tesis tentang sekularisasi karena dampak modernitas dari beberapa pemikir tentang islam semakin terbantahkan dengan kemunculan wujud dan wajah ‘kebangkitan agama’. Sufisme bisa menjadi salah satu bagian entitas penting dalam upaya ‘desekuralisasi’ dan penjagaan nilai-nilai keislaman yang termasuk sangat penting. Para sufi pasca-kolonial, seperti yang ditunjukan John O. Voll dalam halaman akhir buku ini menunjukan sebuah kecenderungan perubahan baru wajah dan pola ‘pemasaran agama’ yang lebih ditentukan oleh situasi objektif lingkungan sufisme berada.

Selasa, 29 Januari 2013

R.Ng Ronggowarsito Sang Filusuf Nusantara

0 komentar

Add caption
Ronggowarsito dalam Selubung Mitos
Kolonialisme yang terjadi hingga pertengahan abad ke 20 bukan hanya dalam bentuk penjajahan secara fisik, melainkan penjajahan pikiran. Inilah yang menjadi persoalan. Meskipun Negara kita sudah memproklamasikan merdeka, tetapi tan pa kita sadari pemikiran  kita belum bebas dari sisa-sisa penjajahan tempo dulu. 

Penjajahan pikiran ini antara lain tercermin dalam berbagai mitos yang berkembang di negeri ini, baik mitos terhadap tokoh (Sukarno, Pangeran Diponegoro, dan lain-lain), mitos terhadap tempat (makam keramat, Gunung angker, dan lain-lain), mitos terhadap benda purbakala (candi, menhir, keris dan lain-lain).

Harus diakui, penilaian terhadap mitos itu relatif: ada mitos baik, mitos buruk, mitos benar dan mitos salah. Atau dengan kata lain, apapun mitos yang selama ini berkembang di masyarakat masih tetap dapat diperdebatkan nilai dan fungsinya.

Tulisan ini sekilas mengulas seputar mitos terhadap seorang putra terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini yang namanya sangat fenomenal: Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873). Sosok fenomenal ini dikenal karena kecerdasan supranaturalnya yang jauh di atas orang-orang pada masanya. Bahkan hingga kini, kecerdasan supranaturalnya belum tertandingi siapapun.

Dalam berbagai buku, makalah, seminar, skripsi, disertasi, tulisan di internet dan ulasan berbagai media, senantiasa menempatkan Ronggowarsito sebagai pujangga dan peramal terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini.

Ronggowarsito terkenal karena karya-karyanya mengandung bermacam ramalan hingga ratusan tahun ke depan. Serat Kalatidha berikut ini salah satunya:

Amenangi zaman edan,
Ewuh aya ing pambudi,
Milu edan nora tahan,
Yen tan milu anglakoni,
Boya kadumen melik,
Kaliren wekasanipun,
Ndilalah kersa Allah,
Begja begjane kang lali,
Luwih begja kang eling klawan waspada,
Maknanya:
Menyaksikan zaman gila,
Serba susah dalam bertindak,
Ikut gila tidak akan tahan,
Tapi kalau tidak mengikuti (gila),
Tidak akan mendapat bagian,
Kelaparan pada akhirnya,
Namun telah menjadi kehendak Alloh,
Sebahagia-bahagianya orang yang lalai (lupa),
Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Karya-karya Ronggowarsito yang terkenal diantaranya: Serat Kalatidha berisi gambaran penjajahan yang disebut Zaman Edan. Serat Jaka Lodhang berisi ramalan datangnya Zaman Baik dan Serat Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat Zaman Makmur dan Perilaku Manusia yang Tamak. Bahkan menjelang akhir hayatnya, beliau menulis Serat Sabda Jati yang diantaranya berisi ramalan saat kematiannya sendiri.

Tetapi, nanti dulu. Sosok fenomenal yang namanya selalu diidentikkan dengan julukan peramal ini tampaknya tidak sesuai lagi disematkan pada Ronggowarsito. Julukan peramal adalah mitos menyesatkan yang dengan atau tanpa sengaja tertanam kuat di dalam benak masyarakat. Dengan kata lain, Ronggowarsito memiliki kecerdasan yang lebih dari sekadar seorang peramal. Ronggowarsito adalah filsuf besar Nusantara.

Ronggowarsito Tak Sekadar Peramal
Menempatkan Ronggowarsito sebagai filsuf besar Nusantara, daripada sekadar pujangga dan peramal, diuraikan dalam buku Mengenali Ronggowarsito sebagai Filsuf  : Ketika Pemikiran Filsafat Dianggap Ramalan (Bidik-Phronesis Publishing, Jakarta, Mei 2012). Buku ini ditulis Lilik Sofyan Achmad (LSA) yang sejauh ini dikenal sebagai Guru Besar yang tekun dalam meneliti dan mengkaji karya-karya Ronggowarsito.

Gagasan penulisan buku ini berawal dari sebuah pertanyaan besar: Apakah pemikiran-pemikiran Ronggowarsito hanya berisi ramalan-ramalan belaka? Pertanyaan inilah yang membawa LSA menelusuri secara jernih, teliti dan tajam terhadap seluruh karya Ronggowarsito. Lalu dari hasil kajiannya selama bertahun-tahun, LSA menyimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran Ronggowarsito terbukti memiliki sistematika yang logis. Inilah yang secara meyakinkan menempatkan Ronggowarsito sebagai seorang filsuf besar yang pernah dimiliki bangsa ini.

Buku setebal 88 halaman ini merangkum hasil kajian LSA dalam hal pembuktian Ronggowarsito sebagai filsuf besar Nusantara yang sejajar dengan filsuf-filsuf besar negeri ini dan dunia dan bukan sekadar pujangga kraton, peramal, cenayang, paranormal atau apapun namanya.

Buku ini diawali dengan bab 1 yang mengisahkan masa kecil dan perjalanan karir Ronggowarsito. Bab 2 seputar teori paska kolonial dan relevansinya dengan pemikiran Ronggowarsito. Bab 3 mengungkap segala sesuatu yang dibangun dengan mitos dan bagian Penutup.

Buku ini menjadi menarik karena pada bagian akhir terdapat epilog berjudul Ronggowarsito Memang Filsuf yang ditulis Turita Indah Setyani. Dia adalah peneliti sastra dan budaya Jawa lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia di bidang kajian budaya dan feminisme yang kerap menjadi pembicara di pelbagai forum ilmiah nasional dan internasional. Tulisan Turita Indah Setyani sangat membantu Pembaca dalam memahami seluruh rangkaian isi buku ini.

Tidak kalah menariknya adalah kata pengantar buku ini yang ditulis Riko, Direktur Penerbit Buku Bidik-Phronesis Publishing. Riko tampaknya faham benar dengan LSA yang dilanda kegelisahan terhadap sosok Ronggowarsito yang hanya dikenal generasi muda bangsa ini sebagai seorang peramal.

Riko membuka jalan bagi LSA untuk mempublikasikan hasil kajiannya. Buku Mengenali Ronggowarsito sebagai Filsuf merupakan buku pertama yang terbit di Tanah Air yang secara tegas dan ilmiah memberi julukan baru kepada sosok fenomenal Ronggowarsito.

Sebuah Usaha Membongkar Mitos
Anda tentu sudah lama mengetahui bahwa Ronggowarsito adalah seorang peramal ulung. Lalu Anda mungkin bertanya-tanya: Apakah terbitnya buku ini akan menumbangkan reputasi Ronggowarsito sebagai peramal?
Jawabannya: Tidak.

Buku ini sama sekali tidak bermaksud meruntuhkan Ronggowarsito sebagai seorang peramal yang ramalan-ramalannya masih relevan hingga saat ini, sebagaimana kutipan ramalan di atas. Buku ini justru hendak menegaskan bahwa Ronggowarsito memiliki kecerdasan yang jauh lebih tinggi daripada sekadar menempatkannya sebagai seorang peramal. Pemikiran-pemikiran Ronggowarsito yang terangkum dalam karya-karya monumentalnya itu bukanlah kitab ramalan, melainkan kitab filsafat. Ramalan hanya sebagian saja dari seluruh pemikiran filsafat Ronggowarsito.

Lalu pertanyaannya, mengapa selama ini kita mengenal Ronggowarsito sebagai peramal?
Inilah yang saya maksud dengan penjajahan pikiran. Sebagaimana petikan puisi Rudyard Kipling di atas (East is East and West is West, and never the twain shall meet).

Sejak dulu, bangsa Barat mencoba menanamkan ke dalam pikiran bangsa Timur bahwa para filsuf (atau para pemikir dunia) hanya milik bangsa Barat (baca: Eropa dan Amerika). Sehingga klaim majunya peradaban dan kecerdasan manusia harus selalu dimulai dari bangsa Barat.

Sedangkan bangsa Barat selalu mengidentikkan bangsa Timur dengan ramalan, mistik, supranatural yang dianggap sumber keterbelakangan. Padahal, manusia-manusia dari ras bangsa Timur ini memiliki kecerdasan yang setara dengan kecerdasan bangsa Barat.

Membaca buku baru ini memberi keyakinan kepada saya bahwa sosok fenomenal Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah selayaknya disejajarkan dengan para filsuf negeri ini dan filsuf dunia. Tujuan utama penulis buku ini, tentu saja, hendak menempatkan pemikiran Ronggowarsito dalam pisau bedah filsafat dan tidak lagi membiarkan para petualang mistik, supranatural atau klenik, terus berputar-putar membicarakan ramalan Satrio Piningit, Zaman Edan dan sejenisnya.

Kajian pemikiran Ronggowarsito dapat berada dalam meja yang sama dengan para filsuf lainnya di negeri ini, seperti Tantular, Paku Buwana IV,  Ki Hajar Dewantara, Driyarkara, Romo Sugijapranata, Hamka, Franz Magnis Suseno, Leo Suryadinata, Nurcholish Madjid, Damarjati Supadjar, FX. Mudji Sutrisno dan lain-lain.
Dan bagi Anda yang senang menggeluti filsafat dan budaya Nusantara, maka saya merekomendasikan untuk membaca buku ini. Selamat Menikmati.

Tahun terbit: 2012.
Jumlah Hal: 88 hal.
Ukuran: 11,5 cm x 18,5 cm.
(Soft Cover, book paper).
Penerbit: Bidik-Phronesis Publishing.
Harga: Rp. 26.000,-

Advertisement

 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com