Pada tahun 1845 Raden
Ngabehi Ronggowarsito diangkat menjadi Kliwon Kadipaten Anom, dan dinobatkan
menjadi pujangga istana Surakarta oleh Paku Buwana VII. Paku Buwana VII sangat
menghargai Ronggowarsito. Akan tetapi sewaktu Ronggowarsito menjelang usia tua,
diperintah oleh Paku Buwana IX (1861-1893) yang kurang simpati terhadap sang
pujangga dan keluarga Ronggowarsiton. Sebagai pegawai pengabdi istana, dengan
sikap raja yang demikian merupakan tekanan batin yang sangat mengecewakan hati
sang pujangga. Tekanan batin ini dapat dilihat dalam Serat Kalatidha sebagai berikut:
Memang banyak
kabar angin, perkataan orang yang belum tentu benarnya, dipuji-puji akan
menjadi pemuka, akhirnya malahan tersisih ke belakang. Bila dipikir
dalam-dalam, apa faedah menjadi pemuka, tak lain menyemaikan benih kesalahan,
tersiram air watak pelupa, apabila tumbuh tentu menjadi pangkal kekisruhan.
Petuah Serat Nitisastra, memberi pelajaran bagi
peringatan, pada zaman terkena musibah (edan), orang yang tak suka menonjolkan
diri tersisih, demikian bila mau mamperhatikan. Apa faedahnya mempercayai kabar
angin, hanya akan menyakitkan hati saja, lebih baik menggubah cerita-cerita
kuno.
Dapat
dipergunakan sebagai tamsil, untuk membedakan baik-buruk, kejadian-kejadian
yang dapat menjadi tamsil, tentang masalah-masalah kehidupan; akhirnya hati
menjadi sabar, berserah diri atas ketentuan takdir, akan diapakan lagi, toh
sedang mengalami zaman edan.
Ucapan demikian
itu mungkin dikatakan; ‘Yah batinnya kan berkeinginan’. Mungkin benar yang
menyangka seperti itu. Akan tetapi dalam hati sungguh jauh daripada itu. Sudah
tua hal itu untuk apa, lebih baik menyepi (untuk berbakti kepada Tuhan), agar
mendapat ampunan Tuhan.
Ungkapan seperti ini
mencerminkan kekecewaan hati Ronggowarsito lantaran penghargaan atas dirinya
kurang sepadan dengan jasanya. Disamping itu, ungkapan di atas juga
menggambarkan ketabahan dan keteguhan hati Ronggowarsito.
Ronggowarsito
menyaksikan kesemrawutan dan tindakan-tindakan korupsi yang banyak melanda
kehidupan istana serta masyarakat banyak. Kehidupan masyarakat menjadi
morat-marit, dan sangat memprihatinkan. Sebagai pujangga penyambung lidah
rakyat, Ronggowarsito melukiskan keluhan dan penderitaan masyarakat pada masa
itu dalam beberapa karya-karyanya.
Ronggowarsito merupakan
pujangga yang amat dikagumi masyarakat luas. Dengan adanya ramalan mengenai
datangnya zaman kalasuba (yakni zaman keemasan), Ranggawarsito dikenal sebagai
pujangga yang mengetahui apa yang akan terjadi. Ki Sumidi Adisasmita misalnya,
mengatakan sebagai berikut:
Beliau (Ronggowarsito)
juga mempunyai kesanggupan jiwa dapat membaca perasaan dan pikiran orang lain
yang tidak dilahirkan dengan suara, meskipun jaraknya jauh sekali. Kemampuan
demikian ini dalam bahasa asing disebut telepathie.
Ditambah lagi
dengan kemampuan wakitha…Kyai Ronggowarsito
mempunyai kemampuan weruh sakdurunge
winarah atau dapat mengetahui sesuatu yang akan terjadi lama sebelum
kejadian itu menjadi fakta.
Penghargaan terhadap Ronggowarsito
juga datang dari para pecinta kepustakaan Jawa. Penghargaan ini demikian besar
sehingga Ronggowarsito dipandang sebagai pujangga penutup. Menurut G. W. J. Drawes sudah semenjak masa hidupnya
Ronggowarsito dipandang sebagai pujangga penutup. Dan kata penutup ini
mempunyai konotasi yang sama dengan Nabi
Penutup. Hal ini berarti bahwa sesudah wafatnya Ronggowarsito, tidak ada
atau tidak diperlukan lagi tugas kepujanggaan. Tugas kepujanggaan telah
dikerjakan oleh pujangga sebelumnya, dan kemudian telah diselesaikan seluruhnya
oleh Ronggowarsito.
Sebenarnya tugas
pengembangan kesusatraan serta kepustakaan Jawa tidak akan berakhir sepanjang
masa. Oleh karenanya tugas tersebut tetap diperlukan sepanjang zaman. Maka
istilah Pujangga Penutup, sebaiknya
diartikan, bahwa konsep kepujanggaan menurut pengertian tradisi Jawa telah
berakhir dengan wafatnya Ronggowarsito. Dan memang sudah tidak diperlukan lagi
adanya seorang pujangga model lama. Namun pujangga dalam pengertian sastrawan
dan penulis kepunjanggaan Jawa yang produktif, tetap akan selalu diperlukan
demi perkembangan kepustakaan dan kesusastraan Jawa. Bahkan adanya
pujangga-pujangga gagrag (tipe) baru
sangat diperlukan bagi perkembangan kepustakaan Jawa yang dewasa ini mengalami
masa suram.
Konsep kepujanggaan gagrag lawas (tipe) lama sangat
dikeramatkan, dan dikatakan bahwa pangkat
kapujanggan tergantung atas wahyu, tidak bisa dicapai hanya dengan usaha
manusia semata-mata. Dalam manuskrip yang dsusun oleh Padmawarsita, diterangkan
bahwa pujangga harus memiliki kemampuan nawungkridha
dan sambegana. Kedua kemampuan
ini tidak dapat dicapai dengan belajar, akan tetapi berhubungan dengan wahyu. Sambegana artinya kuat ingatan. Sedang Nawungkridha berarti waskitha. Mengetahui rahasia segala
sesuatu dengan ketajaman pandangan batinnya. Dalam manuskrip Padmawarsita ini Ronggowarsito
dinilai sebagai pujangga penutup.
Pujangga menurut gagrag lama, dilambangkan dengan seekor ular. Maksudnya memiliki
pemikiran yang tajam menguasai liku-liku segala masalah, dan apa yang dikatakan
pasti mandi (benar dan jadi
kenyataan) seperti bisa ular. Kata pujangga berasal dari bahasa Sansekerta,
berarti ular. Dalam serat babad, pujangga-dalem digambarkan
sebagai nujum-istana. Yakni sebagai
pendeta dan sastrawan yang mumpuni
ilmunya, dan berperan sebagai penasihat raja dalam hal-hal kerohanian dan
kebatinan, disamping sebagai penulis istana.
Pengaitan pangkat
kepujanggan dengan wahyu berarti
pengeramatan pribadi sang pujangga. Dia dipandang sebagai tokoh yang memiliki
kemampuan luar biasa, melebihi para cendekiawan. Walaupun pengertian wahyu menurut tradisi kejawen, tidak
lain hanya digambarkan sebagai andaru,
yaitu: semacam benda bersinar yang turun dari langit, namun pengaitan pujangga
dengan wahyu, berarti hanya orang
yang mendapat anugerah Tuhan yang berhak menjadi pujangga.
Comments
0 comments to "Raden Ngabehi Ronggowarsito sebagai Pujangga"
Posting Komentar